Kebebasan (?)

|
Rasanya, aku tak mengerti lagi seperti apa kebebasan sesungguhnya.
Seperti inikah? Mengapa begitu hampa? Kosong. Tak ada makna.

Mungkin benar, kata seorang kawan,
"Hal yang paling diinginkan anak pondok adalah kebebasan, tapi ketika kebebasan itu sudah mereka dapatkan, yang ada hanya keinginan untuk diikat oleh aturan-aturan lagi. Rasanya lebih cepat futur dengan kebebasan yang dimiliki ketika mereka keluar dari pondok. Kering. Tidak ada lagi motivasi untuk memperkuat ruhiyah diri."

Kali ini, aku setuju. Aku merasakannya sendiri.
Ya, aku memang bukan anak pondok. Tidak pernah sekalipun merasakan seperti apa budaya pondok pesantren, asrama, ataupun sekolah boarding. Meski begitu, peraturan ketat di rumah yang sangat menjagaku mungkin hampir sama dengan aturan ketat yang mereka rasakan, meski berbeda konteks, mungkin.

Ketika di rumah, sebelum maghrib aku wajib sudah ada di rumah, keluar rumah harus dengan ijin yang jelas dan wajib bermanfaat, tidak boleh pergi sendiri kecuali ke toko buku, tidak boleh pergi jauh dengan teman-teman, tidak boleh sekedar kongkow-kongkow dengan teman-teman, rutin mengikuti kajian remaja sebulan sekali, rutin mengikuti kajian setiap rabu malam dengan keluarga, dan masih banyak lagi aturan suci yang niatnya hanya menjagaku dari kesia-siaan dan meningkatkan diri agar mampu lebih dekat pada-Nya.

Seringkali aku berontak. Seringkali aku marah dalam hati. Seringkali aku menangis menyangkal semua aturan yang begitu membelenggu itu. Aku merasa, aku tidak punya masa remaja seperti yang semua orang rasakan!

Sekarang, ketika jauh dari rumah, ketika harus menjalani kehidupan kost seorang diri, ketika aku memiliki kebebasan yang selama ini aku inginkan... Aku rapuh. Jatuh.

Kerontang telagaku.

Ternyata, kehidupan islami yang dibiasakan sejak kecil oleh orangtuaku belum mampu menjagaku seutuhnya. Ternyata, pendidikan formal sembilan tahun di sekolah swasta Islam ditambah tiga tahun pembinaan Islam masih bisa membuatku goyah ketika lepas dari semua ikatan.

Ya, sekarang aku benar-benar bebas. Melakukan apa pun sesukaku.
Tapi lucunya, aku tidak berani melanggar banyak hal yang selama ini selalu aku sangkal, meski tanpa ada lagi omelan atau proteksi dari orang tua, meski tidak ada pantauan ketat seperti dulu. Mungkin yang paling sering aku langgar hanya jam malam.

Aku sempat sangat jauh dari keseharian yang sudah dibiasakan sejak kecil. Sunnah-sunnah mulai kutinggalkan satu persatu. Bersyukur, Allah masih menjagaku dengan memberiku sahabat bahkan saudara yang selalu mengingatkan secara tidak langsung untuk mulai berbenah lagi menjadi lebih baik. Ya, mereka melihatku baik, sehingga mereka tidak pernah mengajakku melakukan amalan sunnah ini dan itu. Namun, itu yang membuatku begitu malu. Mereka mengingatkanku dengan cara memberiku keteladanan dan aksi nyata.

Shalat berjamaah. Shalat dhuha. Shalat lail. Shalat sunnah rawatib. Tilawah. Shaum Senin dan Kamis. Shaum Bidh. Bersedekah. Saling menawarkan bantuan. Saling mendoakan. Kajian rutin. Dan masih banyak lagi perilaku indah lainnya.

Subhanallah walhamdulillah.
Allah begitu baik sehingga menurunkan `malaikat-malaikat`-Nya yang berwujud manusia untuk mengajakku kembali pada kesucian -yang secara fitrah- selalu kurindukan.

Perlahan, telagaku mulai menampakkan kesejukannya kembali.

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Allah, jagalah kami untuk selalu istiqamah di jalan-Mu. Berilah kenikmatan dan rahmat-Mu yang melimpah untuk mereka yang selalu mengingatkanku pada-Mu. Bukankah mereka sebaik-baik sahabat?